Jumat, 29 Maret 2019

KONSERVASI ARSITEKTUR - MUSEUM BAHARI JAKARTA UTARA







KONSERVASI ARSITEKTUR
MUSEUM BAHARI JAKARTA UTARA
DISUSUN OLEH :
DEPI MUSTIKA SARI
21315703
4TB03






BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar didunia yang terdiri sari 17.504 pulau dengan panjang garis pantai 81.000 km dan luas perairan terdiri dari laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman seluas 2.7 juta km atau 70% dari luas wilayah NKRI.
Batas darat wilayah Republik Indonesia berbatasan langsung dengan berbagai negara yaitu Malaysia, Papua New Guinea dan Timur Leste. Perbatasan darat negara Indonesia tersebar di 3 pulau, 4 provinsi dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing memiliki karakteristik perbatasan yang berbeda-beda.
Negara Indonesia disebut sebagai bangsa bahari dengan hamparan laut yang luas yang merupakan potensi bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan sumberdaya laut yang memiliki keragaman baik sumberdaya hayati maupun sumber daya lainnya.
Berikut ini merupakan beberapa aspek pemanfaatan dan pengelolaan potensi laut yang dapat memberikan manfaat kepada manusia dibeberapa bidang yaitu :
1.      Transportasi yaitu laut sebagai medium transportasi telah dikenal sejak dulu, baik antar pulau atau benua mulai dari teknologi sederhana hingga saat ini dengan teknologi modern.
2.      Sumber makanan, laut sebagai sumber protein hewani (perikanan) dan nabati (rumput laut), sumber makanan tersebut berperan sebagai komoditi dalam perdagangan laut di Indonesia.


Laut sebagai sumber daya alam yang dapat terganggu atau dapat terjadi kerusakan karena dieksploitasi dan berimbang serta dicemari oleh berbagai limbah akibat aktivitas manusia di dataran maupun di laut.
Maka dalam Konservasi Arsitektur ini penulis membahas Museum Bahari yang berlokasi di Jl. Ps. Ikan No.1, RT.11, Penjaringan, Jakarta Utara. Museum bahari ini merupakan gedung bekas gudang rampah-rempah VOC. Museum ini sering dikunjungi oleh wisatawan asing sedangkan wisatawan local sedikit yang mengunjungi museum bahari ini.
Letak Museum Bahari ini dahulu berada di kawasan Sunda Kelapa dimana kawasan tersebut merupakan kawasan perniagaan yang paling sibuk, ramai dan dijaga ketat oleh tentara Belanda. Kapal-kapal besar yang mengangkut beragam jenis rempah-rempah bersender di galangan kapal VOC di kawasan Sunda Kelapa.


1.2    Sejarah Kawasan
Museum Bahari dahulu merupakan tempat gudang rempah-rempah VOC, yang terletak di teluk Jakarta. Dahulu tempat ini menjadi pusat perniagaan penting. Begitu sibuknya sehingga perlu dijaga ketat, kapal-kapal besar dan kecil hilir-mudik mengangkut rempah-rempah yaitu berupa cengkeh, buah pala, lada kayu manis, kayu putih, tembakau, kopra, daun the, biji kopi dan lain-lain diangkut ke Eropa dan beberapa negara lain.
Hasil bumi ini menjadi monopoli komoditi penting perusahaan dagang VOC (Vereningde Indische Compagnie) Belanda. Museum Bahari ini menyimpan 126 koleksi benda-benda sejarah kelautan. Terutama kapal dan perahu-perahu niaga tradisional. Di antara puluhan miniatur yang dipajang terdapat 19 koleksi perahu asli dan 107 buah miniatur, foto-foto dan biota laut lainnya.
Museum bahari dibangun pada tahun 1652 oleh pemerintahan kolonial Hindia-Belanda di Batavia. Tepatnya di jalan Pasar Ikan Jakarta Utara, menghadap Teluk Jakarta. Disebelah kanan tak jauh dari gudang induk dibangun menara. Sekarang dikenal dengan nama Menara Syahbandar dibangun tahun 1839 untuk proses administrasi keluar masuknya kapal sekaligus sebagai pusat pengawasan lautan dan daratan sekitar.
Secara signifikan gudang tersebut mengalami perubahan. Tahun perubahan itu dapat dilihat pada pintu-pintu masuk. Di antaranya tahun 1718, 1719 dan 1771. Pada masa pendudukan Jepang, tepatnya ketika perang dunia II meletus (1939-1945) gudang tersebut menjadi tempat logistik peralatan militer tentara Dai Nippon. Setelah Indonesia Merdeka difungsikan untuk gudang logistik PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan PTT (Post Telepon dan Telegram).
Sejauh ini gudang bersejarah itu tampak lebih utuh setelah direnovasi Pemda DKI Jakarta dan diresmikan menjadi Museum Bahari pada 7 Juli 1977 oleh Ali Sadikin, yang pada waktu itu menjabat Gubernur DKI Jakarta. Di perut Museum Bahari tersimpan benda-benda sejarah berupa kapal dan perahu-perahu asli maupun miniatur. Mengingatkan kepada kita bahwa sejak jaman dahulu kala ‘nenek moyangku orang pelaut’. Ada kebanggaan ‘kebaharian’ dari bangsa pemberani di dalam mengarungi samudra luas dan ganas.
Didalam museum ini terdapat sejarah bahari yang dipajang yaitu antara lain perahu tradisi asli Lancang Kuning (Riau), Perahu Phinisi Bugis (Sulawesi Selatan), Jukung Karere (Irian) berukuran panjang 11 meter. Miniatur Kapal VOC Batavia, miniatur kapal latih Dewa Ruci, biota laut, foto-foto dan sebagainya. Museum ini selain sebagai pusat informasi budaya kelautan, juga menjadi tempat wisata pendidikan bagi leluhur baru yang ingin mengetahui lebih banyak mengenai sejarah kebaharian bangsa tempo dulu.
Bangunan museum bahari ini merupakan bangunan museum berlantai tiga, bangunan ini dipersiapkan secara matang oleh arsitek colonial Belanda agar dapat bertahan lama terhadap gempuran badai laut tropis yang mengandung garam. Tembok museum ini sangat tebal, tiang-tiang oenyangga langit-langitnya kokoh. Menggunakan kayu ulin (kayu besi) berukuran besar sehingga tak gampang keropos dari gangguan cuaca maupun rayap.
Tiang-tiang penyangga berjajar ditiap lantai ruangan yang luas dan lebar. Sampai saat ini tiang-tiang penyangga masih sangat kokoh dan udara ruangan masih tetap terjaga. Hal tersebut dahulu agar rempah-rempah yang tersimpan dapat bertahan lama dan tidak mudah membusuk.
Rancangan teknis pengaturan sirkulasi udara menjadikan ruangan terasa sejuk. Sehingga rempah-rempah tetap segar sebekum dikirim keberbagai tempat yang jauh. Pengaturan sirkulasi udara itu diupayakan dengan menempatkan puluhan jendeka berukuran besar pada tiap ruangan, bahkan jendela-jendela lebar tersebut selalu terbuka pada siang sampai malam sepanjang masa.


1.3    Rumusan Masalah
Bagaimana penanganan dan langkah terbaik untuk melestarikan museum bersejarah dengan membuat fasilitas atau sarana penunjang yang dapat meningkatkan aktivitas dan pengunjung kedalam Museum Bahari ?


1.4    Tujuan
Dalam konservasi Arsitektur ini penulis mendapatkan tujuan yaitu mendapatkan pengetahuan atau tindakan yang tepat untuk agar museum bahari dapat menjadi tempat wisata yang nyaman dan dapat lebih dikunjungi oleh wisatawan local maupun wisatawan asing.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Pemeliharaan Bangunan
Maintenance atau pemeliharaan pada bangunan dimaksudkan sebagai gabungan dari tindakan teknis dan administratif yang dimaksudkan untuk mempertahankan, dan memulihkan fungsi bangunan sebagai mana yang telah direncanakan sebelumnya. Keberhasilan suatu bangunan dinilai dari kemampuan bangunan unutk ada pada kondisi yang diharapkan, yang dipengaruhi oleh beberapa persyaratan, antara lain :
a.       Persyaratan fungsional adalah persyaratan yang terkait dengan fungsi bangunan. Setiap bangunan memiliki persyaratan fungsional umum dan khusus yang perlu di penehui.
b.      Persyaratan performance, masing-masing bangunan memiliki performance bangunan yang sangat spesifik. Performance bangunan mencakup banyak aspek, mulai dari performance fisik luar bangunan, sampai pada elemen-elemen Mechanical & Electrical (ME). Tindakan pemeliharaan bangunan sangat ditentukan oleh tuntutan performance yang terkait dengan fungsi bangunan.
c.       Persyaratan menurut undang-undang. Persyaratan menurut undang-undang merupakan persyaratan bangunan yang tidak bisa diabaikan, karena menyangkut regulasi dan legalitas.
d.      Persyaratan menurut user. Persyaratan menurut user biasanya berkaitan dengan kenyamanan. Kenyamanan user merupakan ukuran keberhasilan suatu bangunan. Biasanya bangunan yang memiliki persyaratan user adalah bangunan-bangunan sewa dan bangunan-bangunan umum.

Idealnya, pada tahap desain, perencana telah menyusun kriteria-kriteria untuk menghasilkan suatu performansi tertentu sehingga aktifitas pemeliharaan yang dilakukan selama masa operasi gedung akan lebih efektif. Namun seringkali kriteria-kriteria semacam itu tidak dibuat sehingga menimbulkan kesulitan dalam menentukan program pemeliharaan sampai tahap pelaksanaannya. Kegiatan pemeliharaan bangunan meliputi berbagai aspek yang bisa dikategorikan dalam 4 kegiatan, yaitu:
1.      Pemeliharan rutin harian.
2.      Rectification (perbaikan bangunan yang baru saja selesai)
3.      Replacement (penggantian bagian yang berharga dari bangunan)
4.      Retrofitting (melengkapi bangunan sesuai kemajuan teknologi)
Secara sederhana, pemeliharaan bangunan dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam yaitu: pemeliharaan rutin dan pemeliharaan remedial/perbaikan.


2.2    Pemeliharaan Rutin
Pemeliharaan rutin adalah pemeliharaan yang dilaksanakan dengan interval waktu tertentu untuk mempertahankan gedung pada kondisi yang diinginkan/sesuai. (Chanter Barrie & Swallow Peter, 1996, h.119 ). Contohnya pengecatan dinding luar 2 tahunan, pengecatan interior 3 tahunan, pembersihan dinding luar dll. Jenis pekerjaan pemeliharaan rutin juga berupa perbaikan atau penggantian komponen yang rusak, baik akibat proses secara alami atau proses pemakaian.
Pada pemeliharaan rutin sangat penting untuk menentukan siklus pemeliharaan. Siklus pemeliharaan ditentukan berdasarkan data fisik gedung dan equipment yang cukup dalam bentuk dokumentasi, manual pemeliharaan maupun catatan pengalaman dalam pekerjaan pemeliharaan sebelumnya. Sehingga rencana program pemeliharaan, jenis pekerjaan dan anggaran dapat segera dibuat.
Kendala-kendala yang terdapat pada pemeliharaan rutin adalah :
a.       Pemilik/owner
Seringkali para pemilik gedung tidak melaksanakan program pemeliharaan yang sudah dibuat, bahkan cenderung memperpanjang interval pemeliharaan dengan tujuan mengurangi beban biaya pemeliharaan agar keuntungan yang didapat lebih besar. Padahal dengan tertundanya jadwal pemeliharaan rutin akan mengakibatkan bertumpuknya kualitas kerusakan (multiplier effect ) yang akhirnya membutuhkan biaya perbaikan yang jauh lebih besar.

b.      Kurangnya data dan pengetahuan
Seringkali pemeliharaan rutin tidak dapat dilakukan akibat kurangnya data baik manual, sejarah pemeliharaan maupun dokumentasi. Disamping itu juga kekurangan pengetahuan dari personil pengelola gedung baik tingkat manajerial maupun pelaksana mengakibatkan program pemeliharaan dan pelaksanaannya kurang optimal.


2.3    Pemeliharaan Remedial
Pemeliharaan remedial adalah pemeliharaan perbaikan yang diakibatkan oleh:
a.       Kegagalan teknis/manajemen bisa terjadi pada tahap konstruksi maupun tahap pengoperasian bangunan.
b.      Kegagalan konstruksi dan desain, dalam hal ini faktor desain dan konstruksi berhubungan erat. Kesalahan dalam pemilihan bahan bangunan dan kesalahan dalam pelaksanaan atau pemasangan.
c.       Kegagalan dalam pemeliharaan yang disebabkan oleh : Program pemeliharaan rutin yang dibuat tidak memadai, Program perbaikan yang tidak efektif, Inspeksi-Inspeksi yang tidak dilaksanakan dengan baik, dan Data-data pendukung pemeliharaan yang tidak mencukupi.
Secara lebih luas, kegiatan pemeliharaan dapat diklasifikasikan menjadi:
1.      Pemeliharaan terencana / planned
2.      Pemeliharaan tidak terencana / unplanned

2.4    Pemeliharaan Bangunan Berlantai Banyak
Pada bangunan berlantai banyak yang disewakan, terdapat 3 pihak yang berke-pentingan dalam menentukan performance bangunan, yaitu :
Ø  Owner/Pemilik Gedung
Ø  Tenant/Penyewa
Ø  Building Management/Pengelola Bangunan

Masing-masing pihak memiliki tuntutan performance berbeda. Mengingat kompleksitas peker-jaan yang sangat besar, maka manajemen pemeliharaan da-lam gedung bertingkat tinggi biasanya dilakukan oleh se-buah organisasi pemeliharaan yang disebut organisasi pemeliharaan gedung.
Organisasi pemeliharaan pada gedung perkantoran biasanya masuk dalam organisasi pengelola yang lebih besar yang disebut Building Management. Organisasi Building Management pada gedung berlantai banyak bervariasi tergantung pada organisasi induk, fungsi gedung, luas lantai dan jumlah lantai.
Dalam konteks pemeliharaan gedung, Building Management melaksanakan perawatan dan perbaikan gedung, fasilitas dan kelengkapan gedung dengan tujuan tercapainya :
      1. Reliabilitas ( kehandalan )
      2. Availabilitas ( ketersediaan )
      3. Memperpanjang umur teknis
      4. Memberikan nilai tambah

Untuk mencapai hal diatas maka Building Management harus membuat jadwal pemeliharaan sesuai spesifikasinya baik fisik gedung maupun mekanikal dan elektrikalnya.
Tindakan pemeliharan yang sifatnya mendadak dan tidak direncanakan, biasa dilakukan atas dasar komplain dari pihak penyewa/tenant. Komplain ini akan disampaikan padacustomer service dan kemudian akan disampaikan kepada organisasi pemeliharaan gedung untuk ditindak lanjuti.


2.5    Pemeliharaan bangunan dengan material metal / logam
Kemajuan industri dan teknologi logam (baja) sebagai material bangunan, membuat baja menjadi material yang handal dan banyak dipakai. Material ini banyak dipakai karena sifatnya yang kuat tarik maupun tekan, ringan, presisi dalam ukuran, mudah dalam pengerjaan sehingga menghemat waktu konstruksi. Namun diantara berbagai keunggulannya, material baja memiliki kekurangan yaitu sifatnya yang mudah berkarat/korosif.
Korosi sebenarnya suatu reaksi kimia pada logam dengan unsur lain yang berhubung dengannya, sehingga terjadi erosi pada salah satu permukaaan. Korosi dapat terjadi juga bila dua jenis logam bersentuhan dan terjadi perbedaan potensial listrik. Sementara menurut faktor penyebab, korosi bisa diklasifikasikan menjadi: 1. atmospheric corrosion,2. immersed corrosion, 3. underground corrosion.
Selain baja yang korosif, ada beberapa jenis material logam lainnya yang tidak korosif dan lazim dipakai pada bangunan, antara lain: aluminium, stainless steel, dll. Logam jenis ini banyak dipakai dalam bangunan karena material ini tergolong material yang free maintenance.


2.6    Pemeliharaan bangunan konservasi
Karya seni bangunan dari manapun dan oleh siapapun sebaiknya dilihat sebagai bagian dari keberadaan total yang terbuka untuk dihargai dan memperkaya sumber-sumber pembangunan. Konservasi sebagai suatu proses memelihara ‘place’ untuk mempertahankan nilai-nilai estetik, sejarah, ilmu pengetahuan dan sosial yang berguna bagi generasi lampau, sekarang dan masa yang akan datang, termasuk di dalamnya ‘maintenance’ sangat tergantung kepada keadaan termasuk juga ‘preservation‟, „restoration‟, „reconstruction‟ dan „adaptation‟ dan kombinasinya.
Maintenance’ bertujuan memberi perlindungan dan pemeliharaan yang terus menerus terhadap semua material fisik dari ‘place’, untuk mempertahankan kondisi bangunan yang diinginkan. Jenis pekerjaan pemeliharaan rutin juga bisa berupa perbaikan. Perbaikan mencakup ‘restoration’ dan ‘reconstruction’, dan harus diperlakukan semestinya. Kerusakan-kerusakan yang harus diperbaiki bisa diakibatkan oleh proses alami, seperti kerapuhan, lapuk, kusam atau proses pemakaian, seperti goresan, pecah dsb.
Misalnya tentang talang :
1.      Pemeliharaan, inspeksi dan pembersihan talang secara rutin
2.      Perbaikan, restorasi; mengembalikan talang yang bergeser ketempat semula
3.      Perbaikan, rekonstruksi, yaitu mengganti talang yang lapuk.
Pada pemeliharaan rutin sangat penting untuk menentukan siklus pemeliharaan dan hal ini bisa ditentukan berdasarkan data fisik gedung dan equipment yang cukup dalam bentuk dokumentasi
Pemeliharaan pada bangunan konservasi mempunyai tingkat intervensi menurut skala peningkatan keradikalannya, yaitu :
  1. Preservasi : berkenaan secara tidak langsung terhadap pemeliharaan artifak pada kondisi fisik yang sama seperti ketika diterima olek kurator. Penampilan estetiknya tidak boleh ada yang ditambah atau dikurangi. Intervensi apapun yang perlu untuk mem „preserve‟ integritas fisiknya hanya boleh pada permukaan (kulit) saja dan tidak mencolok (seperti kosmetik).
  2. Restorasi : Menjelaskan proses pengembalian artifak pada kondisi fisik dalam periode yang silam yang berubah sebagai akibat dari perkembangan. Tahap mana yang tepat, ditentukan oleh kesejarahannya atau integritas estetikanya. Intervensi ini lebih radikal dari pada preservasi yang sederhana.
  3. Konservasi dan Konsolidasi : Menjelaskan intervensi fisik terhadap bahan/elemen bangunan yang ada untuk meyakinkan kesinambungan integritas struktural. Ukurannya dapat berkisar dari terapi minor sampai yang radikal.
  4. Rekonstitusi : Bangunan hanya dapat diselamatkan secara bagian per bagian, ditempat semula atau di tapak yang baru.
  5. Penggunaan kembali yang adaptif : Seringkali merupakan cara yang ekonomis untuk menyelamatkan bangunan dengan mengadaptasikannya pada kebutuhan pemilik barunya. Melibatkan intervensi yang agak radikal, terutama pada organisasi ruang dalamnya.
  6. Rekonstruksi : Menjelaskan tentang pembangunan kembali sebuah bangunan yang hilang di tempat semula. Bangunan rekonstruksi bertindak sebagai pengganti tiga dimensional dari struktur asli secara terukur, bentuk fisiknya ditetapkan oleh bukti arkeologis, kearsipan serta literatur.Merupakan salah satu intervensi paling radikal.
  7. Replikasi : Dalam bidang arsitektur, berkenaan dengan konstruksi tiruan bangunan sebenarnya yang masih ada, tapi jauh letaknya. Replika tersebut menyerupai aslinya. Secara fisik replika lebih akurat daripada rekonstruksi, karena prototipnya dapat dipakai sebagai alat kontrol terhadap proporsi , polichrom, tekstur. ini merupakan intervensi paling radikal, tapi mempunyai kegunaan yang spesifik untuk sebuah musium misalnya.
Perhatian khusus dalam preservasi dan konservasi lingkungan bersejarah berbeda dari suatu negara dengan negara lain, akan tetapi beberapa prinsip yang melatar belakangi penting memelihara aset kota atau negara yang disarikan sebagai berikut:
1.      Identitas dan „Sense Of Place‟ : Peninggalan sejarah adalah satu-satunya hal yang menghubungkan dengan masa lalu, menghubungkan kita dengan suatu tempat tertentu, serta membedakan kita dengan orang lain.
2.      Nilai Sejarah : Dalam perjalanan sejarah bangsa, terdapat peristiwa-peristiwa yang penting untuk dikenang, dihormati, dan dipahami oleh masyarakat. Memelihara lingkungan dan bangunan yang bernilai historis menunjukan penghormatan kita pada masa lalu, yang merupakan bagian dari eksistensi masa lalu.
3.      Nilai Arsitektur : Salah satu alasan memelihara lingkungan dan dan bangunan bersejarah adlah karena nilai instrinsiknya sebagai karya seni, dapat berupa hasil pencapaian yang tinggi, contoh yang mewakili langgam/mazhab seni tertentu atau sebagai landmark.
4.      Manfaat ekonomis : Bangunan yang telah ada seringkali memiliki keunggulan ekonomis tertentu. Bukti empiris menunjukan bahwa pemanfaatan bangunan yang sudah ada seringkali lebih murah dari pada membuat bangunan baru. Di negara maju, proyek konservasi telah berhasil menjadi pemicu revitalisasi lingkungan kota yang sudah menurun kualitasnya, melalui program urban renewal dan adaptive-use .
5.      Pariwisata dan Rekreasi : Kekhasan atau nilai sejarah suatu tempat telah terbukti mampu menjadi daya tarik yang mendatangkan wisatawan ke tempat tersebut.
6.      Sumber Inspirasi : Banyak tempat dan bangunan bersejarah yang berhubungan dengan rasa patriotisme, gerakan sosial, serta orang dan peristiwa penting di masa lalu.
7.      Pendidikan : Lingkungan, bangunan dan artefak bersejarah melengkapi dokumen tertulis tentang masa lampau. Melalui ruang dan benda tiga-dimensi sebagai laboratorium, orang dapat belajar dan memahami kehidupan dan kurun waktu yang menyangkut peristiwa, masyarakat, atau individu tertentu, serta lebih menghormati lingkungan alam.
Prinsip-Prinsip Konservasi Menurut Burra Charter
1.      Tujuan akhir konservasi adalah untuk mempertahankan ‘cultural significance’ (nilai-nilai estetik, sejarah, ilmu pengetahuan dan sosial ) sebuah ‘place’ dan harus mencakup faktor pengamanan, pemeliharaan dan nasibnya di masa mendatang.
2.      Konservasi didasarkan pada rasa penghargaan terhadap kondisi awal material fisik dan sebaiknya dengan intervensi sesedikit mungkin. Penelusuran penambahan-penambahan, perbaikan serta perlakuan sebelumnya terhadap material fisik sebuah ‘place’ merupakan bukti-bukti sejarah dan penggunaannya.
3.      Konservasi sebaiknya melibatkan semua disiplin ilmu yang dapat memberikan kontribusi terhadap studi dan penyelamatan ‘place’.
4.      Konservasi sebuah ‘place’ harus mempertimbangkan seluruh aspek „cultural significance’nya tanpa mengutamakan pada salah satu aspeknya.
5.      Konservasi harus dilakukan dengan melalui penyelidikan yang seksama yang diakhiri dengan laporan yang memuat ‘statement of cultural significance‟, yang merupakan prasyarat yang penting untuk menetapkan kebijakan konservasi.
6.      Kebijakan konservasi akan menentukan kegunaan apa yang paling tepat.
7.      Konservasi membutuhkan pemeliharaan yang layak terhadap ‘visual setting’, misalnya: bentuk, skala, warna, tekstur dan material. Pembangunan, peruntukan, maupun perubahan baru yang merusak ‘setting’, tidak diperbolehkan. Pembangunan baru, termasuk penyisipan dan penambahan bisa diterima, dengan syarat tidak mengurangi atau merusak ‘cultural significance place’ tersebut.
8.      Sebuah bangunan atau sebuah karya sebaiknya dibiarkan di lokasi bersejarahnya. Pemindahan seluruh maupun sebagian bangunan atau sebuah karya, tidak dapat diterima kecuali hal ini merupakan satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk menyelamatkannya.
9.      Pemindahan isi yang membentuk bagian dari ‘cultural significance‟ sebuah ‘place‟ tidak dapat diterima, kecuali hal ini merupakan satu-satunya cara yang meyakinkan keselamatannya dan preservasinya.